Ma’na dan Tujuan Pendidikan dalam Islam

Kata Tarbiyyah (pendidikan) yang berasal dari kata robba-yurobbi-tarbiyatan berkisar pada ma’na: mengurus (At-Tadbir), memelihara (Ar-Ri’ayah), merawat (Al-‘Inayah), berkembang (An-Numuw), bertambah (Az-Ziyadah), mengembangkan (At-Tansyiah), memperbaiki (Al-Ishlah), mengajar (At-Ta’lim), dan mendidik adab (At-Ta’dib).

Dalam Al-Qur’an disebutkan kata Tarbiyyah dengan ma’na memelihara dan merawat tentang doa untuk kedua orang tua, “Dan rendahkanlah sayap kerendahdirianmu dengan penuh kasih sayang, dan berdoalah “Ya Tuhanku, sayangilah mereka berdua sebagaimana keduanya merawatku (robbayani) pada waktu kecil.” (QS. Al-Isro: 24). Juga tentang perawatan Fir’aun terhadap Musa as, Fir’aun berkata: “Bukankah kami telah merawatmu (nurobbika)di antara kami ketika kecil, dan kamu telah tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu.” (QS. Asy-Syu’aro: 18).

Dalam Al-Qur’an juga disebutkan kata Robbani yang berasal dari kata Tarbiyyah dengan ma’na mendidik dengan dua aktifitasnya yaitu belajar dan mengajar. “Tidak wajar bagi seorang manusia yang diberikan kepadanya Kitab, Hikmah dan Kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kalian menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Alloh.” Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kalian menjadi orang-orang Robbani, karena kalian selalu mengajarkan Kitab dan disebabkan kalian tetap mempelajarinya.” (QS. Ali Imron: 79).

Ma’na Robbani adalah orang yang dinisbatkan kepada Robb (orang yang kuat hubungannya dengan Alloh). Robbani juga berma’na: “Orang yang mendidik manusia dengan ilmu yang dasar-dasar sebelum ilmu yang besar-besar, seakan-akan ia mengikuti Alloh dalam mempermudah setiap urusan.”  Al-Mubarrid berkata: Ar-Robbaniyyun yaitu para pemelihara ilmu, mufrodnya Robbani, dari kata robbahu-yurobbihi fahuwa Robbaan, yaitu memeliharanya, memperbaikinya. Huruf “YA” berfungsi sebagai nisbat. Maka ma’na Robbani adalah “Orang ‘alim terhadap agama Alloh, yang kuat berpegang teguh terhadap ketaatan kepada Alloh.” Dan juga berma’na “Orang ‘alim yang bijaksana.” (Lihat Asy-Syaukani, Fathul Qodir, hal. 227)

Imam Rogib Al-Asfahani (Al-Mufrodat fi Ghoribil Qur’an, hal. 184) menjelaskan: “Kata Ar-Robb berasal dari kata Tarbiyyah yang berarti mengembangkan sesuatu dari suatu keadaan kepada keadaan lain sampai ke batas kesempurnaan. Al-Baidhowi juga menjelaskan: “Ar-Robb pada asalnya bermakna Tarbiyyah, yaitu menyampaikan sesuatu kepada kesempurnaannya sedikit demi sedikit.”

Dengan penjelasan di atas, pendidikan dalam pandangan Islam bisa didefinisikan sebagai “Usaha mengembangkan manusia tahap demi tahap dalam setiap aspek pribadinya menuju manusia yang sempurna (Insan Kamil) yang mendapat kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat dengan metode yang Islami.”(Dr. Kholid bin Hamid Al-Hazini, Ushul At-Tarbiyyah Al-Islamiyah, hal. 19). Muhammad Natsir (Capita Selekta, Jilid 1 hal. 412) juga mendefinisikan pendidikan sebagai “Satu pimpinan jasmani dan ruhani yang menuju kepada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dengan arti yang sesungguhnya.”

Jelaslah bahwa yang menjadi inti dari pendidikan adalah mengembangkan manusia agar sampai kepada tahap kesempurnaan. Dan ini pula yang menjadi tujuan dari pendidikan, menuju manusia yang sempurna (Insan Kamil). Lalu bagaimanakah yang disebut dengan manusia yang sempurna itu? Yaitu mereka yang dapat menjalankan tugas hidupnya di dunia ini, yaitu Ibadah, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56), dan menjadi Kholifah, “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menciptakan di muka bumi seorang Kholifah…” (QS. Al-Baqoroh: 30). Ma’na ibadah dengan cakupannya yang sangat luas pada intinya manusia menjadikan seluruh hidupnya sebagai bentuk penghambaan kepada Alloh. Menjadi kholifah dalam arti bahwa manusia sebagai makhluk yang paling mulia di antara makhluk-makhluk lain memiliki tanggung jawab (amanah) untuk mengurus dunia ini dengan petunjuk-petunjuk yang Alloh SWT turunkan.

Agar manusia dapat beribadah kepada Alloh dan menjadi kholifah di muka bumi, maka ia membutuhkan ilmu yang dihasilkan dari pendidikan. Bahkan, tingkat ibadah paling tinggi dengan rasa takut kepada Alloh adalah yang disertai dengan ilmu, sebagaimana firman Alloh SWT: “Hanyalah yang takut kepada Alloh dari hamba-hamba-Nya adalah ulama (orang-orang yang berilmu).” (QS. Fathir: 28). Artinya, baik ilmu agama Alloh yang mencakup aqidah dan syariat, atau ilmu tentang ciptaan-ciptaan Alloh, semuanya mesti melahirkan keimanan dan rasa takut kepada Alloh. Ketika seseorang mengetahui tentang hari kiamat, surga dan neraka, maka ia mesti merasa takut kepada Alloh. Ketika ia mengetahui tatacara sholat, zakat, shaum, haji, berakhlaq mulia, ia mesti melaksanakannya dengan penuh ketaatan kepada Alloh dan rasa takut kepada-Nya. Begitu juga ketika ia mengetahui tentang diri manusia, tumbuhan, hewan, bumi angin, gunung, teknologi, dan hukum-hukum alam, ia mesti merasa takut kepada Alloh karena alam semesta ini sebagai tanda kebesaran Alloh, dan memanfaatkannya untuk mengabdikan diri dan bersyukur kepada-Nya. “(Ulul Albab/yang memiliki akal sehat yaitu)Orang-orang yang mengingat Alloh dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring, dan mentafakuri tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Wahai Robb kami! Tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, maha suci Engkau, maka lindungilah kami dari api neraka.” (QS. Ali Imron: 191).

Untuk tujuan mulia itu, maka dalam pendidikan Islam, semua unsur manusia yang meliputi ruh, akal dan fisik, dikembangkan dan diarahkan untuk mencapainya. Muhammad Quthub (Manhaj At-Tarbiyyah Al-Islamiyyah, hal 27) mengatakan: “Pada saat beribadah tidak murni hanya sebagai tekad jiwa, tetapi merupakan gerakan fisik, gerakan akal, dan pancaran jiwa.” Maka dalam prakteknya, pendidikan dalam Islam itu meliputi semua aspek, sebagaimana menurut Dr. Kholid bin Hamid Al-Hazini (Ushul At-Tarbiyyah Al-Islamiyyah, hal.73) yaitu meliputi: pembinaan ilmu, pembinaan akidah, pembinaan ibadah, pembinaan akhlaq, pembinaan profesi dan pembinaan fisik.”

Sangat disayangkan, pendidikan yang dilakukan saat ini hampir lepas dari ma’na dan tujuan pendidikan tersebut. Dimana orang belajar hanya dalam aspek akal dan fisiknya saja, sedangkan dalam aspek ruh dan prilaku tidak mendapat perhatian. Sehingga hal itu melahirkan manusia yang pintar tetapi tidak benar. Melahirkan manusia yang kuat tetapi menjajah. Ilmu yang sampai kepada akal pun dikomersilkan untuk kepentingan-kepentingan pribadi dan hawa nafsu memperkaya materi, bukan untuk kemanfaatan yang lebih luas sebagai bentuk penghambaan kepada Alloh.Akhirnya, ilmu yang pada hakikatnya mulia menjadi tidak berma’na.

Kita bisa melihat pada orang tua-orang tua dan lembaga-lembaga pendidikan, yang ingin dicapai oleh mereka adalah yang penting lunas, yang penting lulus, yang penting dapat ijazah, yang penting dapat pekerjaan. Mereka tidak lagi menghawatirkan apakah murid-muridnya dapat beribadah dengan benar atau belum dan apakah mereka sudah berakhlak mulia atau belum.

Maka sudah menjadi kewajiban setiap muslim untuk mengembalikan pendidikan itu kepada ma’na dan tujuan yang semestinya.

Tinggalkan komentar