Akhir dari Keangkuhan

 Bumi ini telah menjadi saksi sejarah terhadap manusia-manusia yang pernah menjalani hidup dengan keangkuhan. Lihatlah bagaimana kesudahan Fir’aun. Pada saat dia merasa bahwa kekuasaan telah ada dalam genggamannya, dengan pongahnya dia menyeru kepada rakyatnya, “Aku tidak mengetahui ada Tuhan bagi kalian selain aku!” (QS. Al-Qoshosh, 28: 38). Bahkan puncaknya dia mengatakan,“Akulah Tuhan kalian yang paling tinggi!” (QS. An-Nazi’at, 79: 24). Ketika dia merasa telah ada di puncak kekuasaan, justeru sebenarnya dia berada dalam puncak kehancuran. Alloh SWT telah mengirimkan Nabi Musa as untuk mengingatkannya, menampakkan mu’jizat-mu’jizat untuk membuatnya sadar, namun ia bersikukuh mempertahankan keangkuhannya.
Ia mengerahkan segala kemampuan bersama pengikutnya untuk memerangi Nabi Musa as dan kaumnya, ia terus mengejar hingga sampai di tepi laut merah. Fir’aun merasa sudah berkuasamenghimpit pasukan Nabi Musa as. Namun lagi-lagi Alloh memperlihatkan kekuasaan-Nya. Dengan izin-Nya, laut pun terbelah melalui pukulan tongkat Nabi Musa as yang dapat memberikan jalan untuk menyebrang bersama pasukannya, sekaligus juga menjadi cara untuk menenggelamkan Fir’aun dan pasukannya. Jasad Fir’aun terbujur kaku tanpa daya. Hilanglah semua keangkuhannya. Lenyaplah seketika keperkasaan yang diaku-akunya. Adzab di akhirat yang lebih keras pun sudah menantinya.

Kalau Fir’aun yang menjadi icon keangkuhan dalam kekuasaan, maka Qorun adalah icon keangkuhan dalam banyaknya pembendaharaan harta. Ini juga harus menjadi pelajaran bagi kita pada saat berada di puncak kekayaan. Alloh SWT tidak segan-segan memberikan kekayaan kepada Qorun,“Dan kami telah menganugerahkan kepadanya pembendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat.” (QS. Al-Qoshosh, 28: 76). Lalu apa balasan Qorun kepada Alloh? Zholim, berbangga diri dan angkuh. Ia menganggap bahwa apa yang telah didapatnya adalah hasil jerih payahnya sendiri, atas dasar kecakapan ilmu yang dia miliki. Qorun berkata, “Sesungguhnya aku diberi harta ini semata-mata karena ilmu yang ada padaku.” (QS. Al-Qoshosh, 28: 78). Keangkuhan pun berakhir dengan kebinasaan, “Dan Kami benamkan dia (Qorun) berserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya satu golongan pun yang akan menolongnya selain Alloh, dan dia tidak termasuk orang-orang yang dapat membela diri.” (QS. Al-Qoshosh, 28: 81).

Kekuasaan dan kekayaan adalah dua kata yang telah banyak membuat orang terlena, tertipu dan akhirnya binasa. Kesalahan bukan terletak pada kekuasaan dan kekayaannya, tetapi pada karakter dalam menggunakannya. Dengan kekuasaan, orang berbuat zholim kepada rakyatnya, semena-mena dalam mengambil keputusan, menyengsarakan, menyiksa dan memperbudak rakyatnya, korupsi, memperkaya diri sendiri dan keluarganya, tidak melayani tetapi malah ingin selalu dilayani, bermegah-megahan dalam istananya. Dengan kekayaan, orang merasa dapat membeli segala sesuatu, menyogok untuk kepentingan dirinya, enggan membayar zakat, enggan menggunakan hartanya untuk infak dan shodaqoh, menggunakannya untuk berbuat kemaksiatan, merendahkan orang-orang yang miskin. Semua karakter tersebut tersimpul dalam satu sifat: angkuh.

Di sisi lain, kekuasaan dan kekayaan dapat bernilai kebaikan yang berlimpah jika berada di tangan orang-orang yang berkarakter baik. Karakter yang dipenuhi keyakinan bahwa apa yang ada dalam genggamannya bukanlah benar-benar miliknya, ia hanyalah titipan agar digunakan dalam kebaikan, ia selalu menyadari kelemahan dirinya, sangat takut kalau sampai tergelincir dan menggantungkan segala urusannya kepada pemilik hakiki, Alloh SWT. Seperti halnya Nabi Sulaiman as yang merupakan contoh dari kekuatan yang dapat memberdayakan kekuasaan dan kekayaan yang diembannya sehingga menjadi prestasi gemilang di sisi Alloh SWT. Di tengah luasnya wilayah kekuasaan yang meliputi manusia, jin, binatang dan yang lainnya, dan berlimpahnya kekayaan yang tak ada tandingannya, dengan penuh kerendahan hati dan sikap selalu bersyukur beliau berkata dengan sangat yakin, “Ini adalah karunia Robbku untuk mengujiku apakah aku mensyukurinya atau mengkufurinya!” (QS. An-Naml, 27: 40).

Kekuasaan dan kekayaan masih layak diberikan kepada manusia dengan syarat dapat menggunakannya untuk menghambakan diri kepada Alloh. Akan tetapi tak ada kelayakan sedikit pun bagi manusia untuk melekatkan dirinya dengan sifat sombong. Sifat tersebut hanya layak dimiliki oleh Alloh SWT Sang Penguasa Tunggal. Alloh SWT berfirman melalui hadits Qudsi, “Keperkasaan adalah sarungku dan kesombongan adalah selendangku, siapa yang melepaskannya dari-Ku, Aku akan menyiksanya.” (HR. Muslim). Apa yang layak disombongkan oleh manusia? Alloh menciptakannya dari setetes air mani yang hina, menentukan takdirnya, memberikannya kehidupan, mematikan, menguburkan dan membangkitkannya kembali. Apa yang ada pada dirinya, bahkan dirinya sendiri pun bukanlah miliknya. Manusia begitu sangat kecil di antara alam semesta yang sangat besar ini. Maka wajar jika Alloh SWT sangat keras kepada orang yang berani menyandang sifat sombong sekecil apapun. “Tidak akan masuk surga orang yang ada di dalam hatinya sebesar biji dzaroh dari kesombongan.” (HR. Muslim).

Siapapun kita, berhati-hatilah dari sifat angkuh atau sombong. Kesombongan tidak hanya identik dengan kekuasaan dan kekayaan, karena Iblis selalu berusaha mewariskan sifat tersebut kepada manusia, maka siapapun berkemungkinan untuk terhinggapi. Orang juga bisa sombong karena kecerdasan ilmu yang dimilikinya, karena kemampuannya melakukan sesuatu, karena kehebatan prestasi yang diraihnya, karena kelebihan apa saja yang ada pada dirinya, bahkan salah satu manusia yang tidak akan diberi rahmat oleh Alloh di akhirat adalah orang miskin yang sombong. Karena pada hakikatnya, sombong itu adalah “Menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (HR. Muslim).

Kadangkala kita enggan menerima teguran dari orang lain padahal kita sendiri menyadari kesalahan yang kita lakukan. Membela diri dalam kesalahan. Merasa gengsi untuk meminta maaf kepada orang lain. Lebih sibuk mengurusi dan mencari-cari kesalahan orang lain ketimbang meneliti dan memperbaiki kesalahan diri sendiri.Ketika telah mengetahui kelemahan orang lain, merasa senang, segera membicarakannya, merendahkan dan menertawakannya. Kita merasa bangga terhadap apa yang kita anggap milik kita yang membuat kita lupa diri. Tidak sadarkah kita bahwa itu semua termasuk bagian dari kesombongan? Jika kita terus menerus bersikap damai untuk melekatkan diri dengan keangkuhan, maka akhir seperti apakah yang kita tunggu?

Salam perjuangan,

Muhammad Atim

Tinggalkan komentar